Sinopsis Ashoka Samrat episode 359 by Kusuma
Rasmana. Di sebuah gua di bukit berbatu, dalam ruangan yang gelap
temaram, sosok seorang pria yang memakai alas kaki dari kulit, dengan gelang
kaki melingkar, yang tidak tampak wajahnya karena jubah yang hampir menutupi
seluruh tubuhnya dan temaramnya ruangan itu, sedang duduk di kursi kayu yang
agak tinggi dan lebar. Dua orang pria datang kepadanya dan langsung membungkuk
hormat.
"Kami, Uttara dan Dakshina datang menghadap", kata dua pria yang membungkuk itu. Pria yang duduk di kursi mengangguk menerima penghormatan mereka.
"Apa ada berita terbaru dari Nirankush dan bagaimana pengaruh pajak Gondna kepada orang-orang di kerajaan?", tanya pria yang duduk di kursi.
Uttara dan Dakhsina yang bangkit segera menjawab pertanyaan itu. Uttara menceritakan hal-hal baik dan memberikan saran yang baik. Sementara rekannya, Dakshina menjelaskan tentang seorang pria yang menolak untuk membayar pajak atas nama Gondna.
"Kami, Uttara dan Dakshina datang menghadap", kata dua pria yang membungkuk itu. Pria yang duduk di kursi mengangguk menerima penghormatan mereka.
"Apa ada berita terbaru dari Nirankush dan bagaimana pengaruh pajak Gondna kepada orang-orang di kerajaan?", tanya pria yang duduk di kursi.
Uttara dan Dakhsina yang bangkit segera menjawab pertanyaan itu. Uttara menceritakan hal-hal baik dan memberikan saran yang baik. Sementara rekannya, Dakshina menjelaskan tentang seorang pria yang menolak untuk membayar pajak atas nama Gondna.
Kilas balik ditampilkan, dalam ruangan di sebuah pondok sederhan, seorang pria sedang ditodong pedang terhunus oleh 2 prajurit. Pria itu berbicara kepada Dakshina yang ada dalam ruangan itu. "Aku membayar pajak hanya untuk Samrat. Aku tidak akan melakukan apa-apa bahkan jika kau mencoba untuk menakut-nakutiku!", kata pria itu. Pria itu mendengar seseorang berteriak kesakitan dan dia pergi keluar rumahnya untuk memeriksa. Pria itu berteriak dan menangis sejadi-jadinya melihat kedua orang tuanya terbunuh oleh prajurit di depan pintu rumahnya, kilas balik berakhir.
Pria yang duduk di kursi berkata, "Kalian harus memberikan kejutan berikutnya juga sehingga rasa takut mereka tidak akan hilang. Ini adalah waktu yang tepat untuk menetapkan pajak Gondna. Kita akan menghancurkan Magadha! Tidak ada yang akan dapat menyelamatkannya sekarang".
Pria yang berjubah itu tertawa tergelak, namun bukan tawa yang gagah mengegelegar. Dia malah memperdengarkan tawanya yang parau. Melihat pria itu bangkit dari kursinya, Uttara dan Dakshina segera duduk bersujud di hadapannya. Pria berjubah itu masuk ke dalam melalui lorong gelap di belakangnya.
Di suatu tempat yang berupa hutan kecil, Ashoka sedang
menunggangi Garuda berderap dengan beberapa prajurit yang terikat dibelakang
kudanya. Para prajurit yang terikat sambung menyambung itu terpaksa harus
berlari untuk mengimbangi lari kuda putih yang menyeret mereka.
"Aku meninggalkanmu pada saat ini Kaurwaki, tapi aku mengikuti kata-katamu. Aku menuju di jalan yang benar sekarang. Aku tidak bisa melihat ke belakang sekarang. Kita akan bertemu sekali lagi jika Tuhan menghendaki. Tapi kali ini penantian kita tidak akan selama ini. Kita akan bertemu dengan nyata segera!", guman Ashoka sambil terus berderap.
"Aku meninggalkanmu pada saat ini Kaurwaki, tapi aku mengikuti kata-katamu. Aku menuju di jalan yang benar sekarang. Aku tidak bisa melihat ke belakang sekarang. Kita akan bertemu sekali lagi jika Tuhan menghendaki. Tapi kali ini penantian kita tidak akan selama ini. Kita akan bertemu dengan nyata segera!", guman Ashoka sambil terus berderap.
Sejenak kemudian, Ashoka dengan kudanya beserta prajurit yang dibawa tiba di luar gerbang kota Pattaliputra. Prajurit penjaga gerbang kaget melihat seorang pemuda mendekati pintu gerbang dengan berkuda. Yang menarik perhatiannya adalah beberapa prajurit yang terikat dan diseret di belakang kuda itu, sedangkan ujung talinya dipegang erat oleh penunggang kuda. Merasa ada bahaya, salah seorang prajurit melemparkan tombak ke arah pemuda penunggang kuda itu, namun pemuda penunggang kuda itu berhasil menangkap tombak dengan sigap dan melemparkan tombak ke tanah.
Prajurit penjaga gerbang itu kaget, mereka segera menghalangi penunggang kuda yang berhenti tepat di depan gerbang. Seorang prajurit berlari menuju ke istana, sedangkan beberapa prajurit juga berdatangan dan segera bersiaga mengurung Ashoka dengan pedang terhunus.
Ashoka melihat prajurit itu satu persatu, tanpa turun dari kuda dia berkata, "Aku datang kemari bukan untuk menyakiti seseorang atau masuk ke dalam tanpa izin. Beritahu Rani Dharma, istri Samrat Bindushara, agar mengijinkan aku untuk masuk ke dalam kota dan istana Pattaliputra".
Salah seorang prajurit bertanya tegas, "Siapa Kau?".
Ashoka menjawab, "Aku adalah Cucu Chandragupta Maurya, putra dari Samrat Bindushara dan putra sulung Rani Dharma, Rajkumar Ashoka!"
Prajurit itu kaget, "Ashoka?". Para prajurit lain ikut terkejut dan segera menurunkan pedangnya dan menundukkan wajahnya, mungkin karena merasa takut atau bersalah.
Ashoka berkata lagi," Ayo pergi! Beritahu ibuku. Minta dia untuk mengijinkanku masuk ke dalam kota dan istana. Sehingga aku, Ashoka bisa memenuhi impian yang aku tinggalkan selama 10 tahun yang lalu".
Para prajurit yang berbaris menghalangi kuda Ashoka segera membuka jalan. Salah seorang prajurit segera berlari menuju ke dalam istana dengan gembira. Prajurit itu berlari menyusuri koridor sambil memberi tahu temannya sesama prajurit tentang kedatangan Ashoka. Dia terus berteriak, "Rajkumar Ashoka meminta izin untuk masuk ke dalam Pattaliputra!". Beberapa prajurit gembira dan bahagia mendengarnya, demikian seorang pelayan perempuan yang mendengar warta itu. Dia segera berlari, mungkin akan memberi tahu kawan-kawannya.
Di ruangan pertemuan istana, Bindushara bertanya kepada
prajurit yang datang menghadap. "Siapa orang yang mencoba melawan para prajurit
kita dan mencoba untuk masuk ke dalam Pattaliputra?", tanya
Bindushara.
Prajurit itu menjawab, "Kami tidak tahu itu, Yang mulia, tapi tampaknya ia sangat berani dan perkasa".
Bindushara berkata tegas, "Siapa pun dia, dia telah melewati batas kita tanpa izin. Berani-beraninya dia masuk ke dalam! Tangkap dia sebelum dia melakukannya!"
Prajurit itu menjawab, "Kami tidak tahu itu, Yang mulia, tapi tampaknya ia sangat berani dan perkasa".
Bindushara berkata tegas, "Siapa pun dia, dia telah melewati batas kita tanpa izin. Berani-beraninya dia masuk ke dalam! Tangkap dia sebelum dia melakukannya!"
Seorang prajurit lain datang menghadap dan berkata, "Maaf, Yang Mulia, orang itu masih belum masuk ke dalam kota. Dia sedang menunggu di pintu gerbang kota dan meminta izin dari Rani Dharma untuk masuk ke istana Pattaliputra. Dia menyebut dirinya putra sulung Rani Dharma, Rajkumar Ashoka".
Prajurit yang baru datang itu menjelaskan dengan terang, membuat hampir semua orang yang ada di ruangan itu terkejut. Diantaranya Sushima, Mahamatya, dan Siamak. Radhagupta hanya tersenyum mendengarnya sedangkan Bindushara berguman, "Ashoka!".
Sushima teringat tentang kata-kata Tantrik yang mengingatkan bahwa Ashoka akan kembali dan waktu yang sedang berpihak kepadanya.
Melihat para prajurit berpamitan dari depan Samrat, Mahamatya berkata mengingatkan Bindushara.
"Samrat, Anda telah mengusir Ashoka dari Pattaliputra untuk selamanya. Kita harus membahas tentang hal itu secara menyeluruh sebelum melakukan sesuatu", kata Mahamatya. Siamak mendukung ucapan Mahamatya, "Dia tidak menghargai ayah di Nalanda dan mencoba menyakiti saudara tuanya sendiri. Ini jelas menunjukkan bahwa dia tidak kehilangan amarahnya. Dari seorang Chanda (kejam), dia telah menjadi Maha Chanda (sangat kejam)". Sushima mengangguk membenarkan pendapat Siamak. "Benar, ayahanda, Kita seharusnya tidak boleh lupa saat ia bersumpah akan membunuh semua orang", kata Sushima.
Mahamatya berkata, "Kami memahami perasaan Anda sebagai seorang ayah, tapi kita harus ingat apa yang terjadi pada 10 tahun yang lalu. Kita tidak boleh membuat keputusan ini berdasarkan perasaan".
Radhagupta hanya memperhatikan ketiga orang yang berkata muluk-muluk namun tampaknya mulai ketakutan itu.
Bindushara menjawab pelan,"Ashoka telah menerima hukuman atas apa yang dia lakukan. Dan itu bukan waktu yang singkat, Mahamatya".
Bindushara menatap Mahamatya, yang membuatnya rikuh namun dia berusaha menentramkan hatinya.
Mahamatya mengangguk menerima ucapan raja, "Tentu saja, Anda sudah menghukumnya, Samrat. Tapi kita menghukum seseorang untuk melihat perubahannya menjadi lebih baik. Ashoka masih agresif seperti sebelumnya. Bukti yang ada saat ini adalah para prajurit telah dibawa kemari sebagai tawanan".
Acharya Radhagupta berkata, "Kita harus tahu dulu prajurit siapa itu. Kita tidak boleh menyimpulkan sesuatu tanpa mengetahui kebenaran. Apa alasan Ashoka menyeret mereka semua sampai di sini? Ashoka belum melewati batasnya. Dia menghormati perintah Anda. Dia tidak melakukan dengan melawan perintah. Dia bisa saja masuk dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tetapi dia telah meminta ijin lebih dulu untuk keperluan itu. Ashoka dalam hal ini masih mengikuti batasan Anda dan tidak melanggar apapun".
Bindushara berkata, "Semuanya berubah seiring waktu. Hanya pendapat dalam hal putraku, Ashoka, yang tidak berubah seiring waktu. Sebelumnya pendapat orang selalu berbeda. Dan hal yang sama terjadi hari ini".
Sushima, Mahamatya dan Siamak tidak senang mendengar tanggapan Samrat yang setuju dengan pendapat Radhagupta.
"Apakah ada orang yang akan berkata sesuatu lagi?", tanya Bindushara. Mahamatya menggeleng, demikian juga Sushima. Siamak hanya memalingkan mukanya.
Acharya Radhagupta berkata, "Hanya Rani Dharma yang dapat mengambil keputusan tentang masalah tersebut. Karena Ashoka hanya menghendaki ijin darinya".
Bindushara tersenyum dikulum dan mengangguk. "Tentu saja", kata Bindushara pelan, namun sanggup mengguncang dada Sushima, Siamak dan Mahamatya. Mahamatya bahkan mengelap bibirnya yang kering dengan kain selempangnya.
Di kamar pribadinya, Charumitra sedang mencoba beberapa
perhiasan berupa hiasan pinggang, dan kalung berantai agar ia tampil lebih
cantik dan menarik perhatian Bindushara. Namun perhiasan itu rasanya belum pas
baginya.
"Aku ingin perhiasan seperti Dharma", gumannya sambil mencoba memantaskan beberapa perhiasan lagi yang berserakan di atas sebuah meja kecil di ruangan itu.
Sushima masuk ke ruangan itu dengan bergegas, namun langkahnya terhenti melihat ibunya sedang mencoba perhiasan. Dia menggeleng melihat ibunya bertingkah demikian.
"Aku ingin perhiasan seperti Dharma", gumannya sambil mencoba memantaskan beberapa perhiasan lagi yang berserakan di atas sebuah meja kecil di ruangan itu.
Sushima masuk ke ruangan itu dengan bergegas, namun langkahnya terhenti melihat ibunya sedang mencoba perhiasan. Dia menggeleng melihat ibunya bertingkah demikian.
"Ibu tidak pernah memikirkan orang lain selain hanya diri ibu sendiri saat ini!", kata Sushima yang mendekat. Charumitra tidak memperdulikan ucapan putranya, membuat Sushima marah dan menjatuhkan meja kecil itu, sehingga perhiasan berantakan di lantai.
"Ada apa ini?", tanya Charumitra kesal memandang putranya.
"Ibu sungguh keterlaluan, Ashoka berdiri di depan pintu gerbang kota Pattaliputra dan meminta izin dari Dharma untuk masuk ke dalam istana", kata Sushima menuding ibunya.
Charumitra berkata, "Samrat memang memberikan keputusan itu kepada Dharma".
Sushima mengejek, "Ha, hebat sekali Dharma itu. Siapa dia yang bisa mengambil keputusan yang penting seperti itu?". Charumitra tidak menjawab pertanyaan itu, namun dia melihat kemarahan di mata putranya.
Charumitra berkata, "Tidak boleh ada pertarungan lagi sekarang. Apa yang harus terjadi, akan terjadi segera. Jika kau tidak ingin kalah, maka ubah rencana permainanmu!".
Sushima marah mendengar ucapan ibunya, dia menaruh tangannya diatas diya yang menyala. Charumitra terkejut melihat tindakan putranya.