Sinopsis Ashoka Samrat Episode 354 by Kusuma
Rasmana. Di arena pertarungan gulat di Nalanda, Dharma dan Witashoka
datang ke sana menghentikan pertarungan yang sedang terjadi antara Ashoka
melawan Sushima. Semua orang penting Magadha termasuk samrat terkejut melihat
wanita yang datang itu. Akhirnya mereka mengetahui siapa petarung yang bernama
Chanda sebenarnya adalah Pangeran Ashoka. Ashoka merasa kesal karena pertarungan
terhenti dan jatidirinya terbuka jelas. Sementara itu Dharma memandang dengan
marah kepada Ashoka yang berdiri menunduk karena telah membohonginya. "Kau mulai
berbohong kepadaku sekarang. Kau sudah melanggar sumpah yang kuberikan
kepadamu!", kata Dharma dengan nada tinggi.
Ashoka tidak menerima tuduhan ibunya. "Aku tidak berbohong
kepada ibu. Hanya saja aku tidak memberitahu ibu tentang seluruh kebenaran. Aku
hanya meminta izin dari ibu untuk membalaskan kematian Bhupal. Aku pergi untuk
membantu seorang ibu mendapatkan keadilan bagi putranya. Aku masih menepati
janjiku. Aku bahkan tidak pergi ke Pattaliputra", jawab Ashoka sambil melihat ke
arah Sushima.
Sementara Sushima merasa kesal karena ia kehilangan kesempatan emas untuk membunuh Ashoka."Sekarang semua orang tahu kebenaran Chandaa", batinnya menggerutu.
Dharma berkata, "Aku tidak ingin mendengar alasan apapun sekarang. Ikutlah denganku!". Dia bermaksud akan pergi bersama Ashoka dan Witashoka.
Sementara Sushima merasa kesal karena ia kehilangan kesempatan emas untuk membunuh Ashoka."Sekarang semua orang tahu kebenaran Chandaa", batinnya menggerutu.
Dharma berkata, "Aku tidak ingin mendengar alasan apapun sekarang. Ikutlah denganku!". Dia bermaksud akan pergi bersama Ashoka dan Witashoka.
"Berhenti!", kata Bindushara yang turun dari kursinya. Dia segera melangkah menuju arena. Charumitra, Sushima, Mahamatya, Helena dan Siamak melihat kejadian itu dengan degup jantung berlarian dan pikiran bergolak di benak masing-masing.
Dharma terlihat terkejut melihat Bindushara yang melangkah
mendekatinya. Acharya Radhagupta dan Nayaka hanya diam memperhatikan pemandangan
itu. Terbersit dalam ingatan Dharma saat-saat bahagia mereka bersama putranya,
Ashoka di istana Magadha. Semetara Witashoka terkejut dan berusaha mengenali
ayahnya itu saat melihat Bindushara. Bindushara mendekati Dharma, dia juga
teringat masa lalu saat mulai jatuh cinta kepadanya saat masih dirawat di desa
kecil, Campanagari dan akhirnya menikah. Lagu Tum Hi Tum mere mengiringi adegan
ini. Bindushara menyentuh wajah Dharma dan Dharma menangis terharu akan
pertemuan itu sambil memegang tangan suaminya yanga membelai pipinya.
Charumitra dan Sushima terlihat bengong melihat adegan itu,
hatinya seakan terbakar dengan perasaan tidak senang.Helena dan Siamak terkejut
dan heran melihatnya. Ashoka yang berdiri didekatnya juga kaget tak habis
mengerti mengapa hati ibunya bisa luluh secepat itu didepan
Samrat.
Bindushara menatap Dharma dan berkata, "Kau seharusnya tidak meninggalkan Pattaliputra"
Dharma menjawab, "Aku tidak bisa mengubah perilaku anakku dalam 10 tahun terakhir ini. Aku tidak bisa mengubah dirinya untuk selamanya". Bindushara melihat ke arah Ashoka, yang hanya diam tertunduk.
Bindushara menatap Dharma dan berkata, "Kau seharusnya tidak meninggalkan Pattaliputra"
Dharma menjawab, "Aku tidak bisa mengubah perilaku anakku dalam 10 tahun terakhir ini. Aku tidak bisa mengubah dirinya untuk selamanya". Bindushara melihat ke arah Ashoka, yang hanya diam tertunduk.
"Maafkan aku! Dia telah berubah menjadi Chanda (kejam). Hatinya sekarang telah membeku dan mengeras seakan menjadi batu. Bahkan rasa sakit atau air mata seorang ibu tidak berpengaruh pada dirinya", kata Dharma mencakupkan tangannya. Bindushara segera memegang tangan itu dan menurunkannya, dia berusaha menahan gejolak dihatinya. Bindushara mengalihkan perhatiannya dan melihat ke arah bocah yang berdiri disamping Ashoka.
"Dan ini siapa?", tanya Bindushara.
Dharma memberitahu Bindushara siapa bocah itu. "Dia anak kita
Samrat, putra kita, Witashoka", kata Dharma.
Bindushara berkata, "Witashoka! Rajkumar Witashoka, Putraku".
Witashoka berlari mendekati Bindushara, ayah yang baru dikenalnya. Bindushara merendahkan tubuhnya menyambut putranya itu.
Bindushara berkata dengan nada berat, "Maafkan aku, Putraku. Kau tidak bersalah namun Kau harus menanggung begitu banyak rasa sakit. Kau bahkan tidak bisa membayangkan betapa Aku sangat ingin memelukmu".
Bindushara berkata, "Witashoka! Rajkumar Witashoka, Putraku".
Witashoka berlari mendekati Bindushara, ayah yang baru dikenalnya. Bindushara merendahkan tubuhnya menyambut putranya itu.
Bindushara berkata dengan nada berat, "Maafkan aku, Putraku. Kau tidak bersalah namun Kau harus menanggung begitu banyak rasa sakit. Kau bahkan tidak bisa membayangkan betapa Aku sangat ingin memelukmu".
Mereka berdua, ayah dan
anak itu saling berpelukan. Dharma menangis terharu melihat kebahagiaan
Witashoka yang akhirnya bertemu dengan ayahnya. Di sisi lain, Ashoka menundukkan
kepala, hatinya sedih dan tidak menerima semua itu, dia melangkah mundur,
berusaha menjauh dari Bindushara. Sedangkan Charumitra, Sushima, Mahamatya,
Siamak dan Helena, hati mereja bergolak marah melihat pertemuan keluarga itu.
"Maha Sangram (pertarungan besar) ini berubah menjadi Maha Sangam (pertemuan
besar)!", guman Helena ditempatnya.
Bindushara memandang ke arah Ashoka. Dia melepaskan pelukan
Witashoka, lalu berdiri mendekati Ashoka.
Bindushara berkata, "Putraku, cukup sudah. Pulanglah ke rumah sekarang".
Ashoka hanya diam menahan gejolak hatinya yang marah. Sushima terkejut mendengar ucapan ayahnya, dia terlihat marah kepada ibunya yang matanya berkaca-kaca juga menahan marah. Siamak dan Helena agak kaget, namun mereka menanti apa yang akan diucapkan Samrat selanjutnya.
Bindushara berkata sedih, "Kau bisa menyakitiku sebanyak yang kau inginkan, tetapi ingatlah darahku ada di pembuluh nadimu. Kau adalah bagian dari diriku dan akan selalu seperti itu. Aku memaafkanmu hari ini, Putraku".
Bindushara berkata, "Putraku, cukup sudah. Pulanglah ke rumah sekarang".
Ashoka hanya diam menahan gejolak hatinya yang marah. Sushima terkejut mendengar ucapan ayahnya, dia terlihat marah kepada ibunya yang matanya berkaca-kaca juga menahan marah. Siamak dan Helena agak kaget, namun mereka menanti apa yang akan diucapkan Samrat selanjutnya.
Bindushara berkata sedih, "Kau bisa menyakitiku sebanyak yang kau inginkan, tetapi ingatlah darahku ada di pembuluh nadimu. Kau adalah bagian dari diriku dan akan selalu seperti itu. Aku memaafkanmu hari ini, Putraku".
Kembali Charumitra dan Sushima terkejut, Siamak menggelengkan kepala, Mahamatya mendelik, Helena menahan gejolak hatinya yang tidak menerima ucapan Bindushara.
Ashoka menjadi marah, dia menjawab pelan, "Anda mungkin telah memaafkan aku, tapi aku tidak akan pernah memaafkan Anda!".
Bindushara dan Dharma kaget mendengar ucapan Ashoka, demikian juga Radhagupta dan Nayaka. Sushima dan Charumitra tampak terkejut, namun merasa senang.
Ashoka melanjutkan, "Anda sendiri menyebut diriku sebagai anak yatim 10 tahun yang lalu. Dan benar, Anda bersikap seperti itu selama ini. Anda bahkan tidak mencariku walau sekali saja. Aku setuju jika aku telah melakukan kesalahan di mata Anda. Dosa yang mungkin tak terampuni dan Anda telah menghukumku untuk itu".
Ashoka menatap Bindushara dan menunjuk ke arah ibu dan adiknya, "Tapi kenapa Anda menghukum ibuku dan bayi yang baru lahir? Anda memberi ibuku pilihan yang sulit, untuk memilih antara anak atau suaminya pada 10 tahun yang lalu. Aku akan memilih seperti hari ini! Aku tidak akan pergi ke Pattaliputra!".
Dharma, Bindushara, Radhagupta dan Nayaka terkejut
mendengarnya, demikian juga Charumitra, Sushima, Siamak, Helena dan Mahamatya.
Semua orang terkejut mendengar keputusan Ashoka.
Witashoka mendekati Ashoka dan meminta kakaknya untuk tidak melakukan itu.
Bindushara berkata pelan, "Kali ini janganlah kau begitu keras hati, Putraku".
Witashoka mendekati Ashoka dan meminta kakaknya untuk tidak melakukan itu.
Bindushara berkata pelan, "Kali ini janganlah kau begitu keras hati, Putraku".
Ashoka tetap marah, dia membelakangi Bindushara dan berkata keras, "Anda jangan memanggilku putra lagi dan lagi, Samrat Bindushara, tidakkah Anda mendengar apa yang aku katakan? Karena Anda sendiri yang mengumumkan bahwa ayahku sudah mati beberapa tahun yang lalu dan Anda menyebutku sebagai anak yatim. Bagiku ayahku telah meninggal saat itu!".
Bindushara hatinya terluka atas ucapan Ashoka, namun Dharma marah besar karena tidak menyangka putranya bisa berbicara sekasar itu.
"Ashoka!", teriak Dharma menampar pipi Ashoka dengan keras. Hal itu mengejutkan Radhagupta, Nayaka, Witashoka dan lima sekawan pembunuh Chanakya yang berdiri di tempatnya masing-masing. Dharma terlihat marah, sedangkan Bindushara sibuk memikirkan tentang kata-katanya sendiri saat 10 tahun yang lalu ketika mengusir Ashoka dari istana. Dan memang benar seperti yang diucapkan Ashoka barusan.
Ashoka berkata dengan hati hancur, walaupun berusaha tegar.
"Terima kasih, Bu! Aku tidak berharap ibu memberkatiku saat ini. Tapi ibu
mengizinkanku pergi dengan tamparan ini", kata Ashoka yang menangis berusaha
tersenyum getir.
Ashoka membungkuk menyentuh kaki ibunya, Dharma yang tidak tahan dengan kesedihan putranya, berpaling ke arah lain. Ashoka segera melangkah pergi, namun Witashoka menghentikan kakaknya dengan memegang tangan Ashoka. "Jangan tinggalkan aku, Bhaiya. Aku tidak bisa hidup tanpamu", kata Witashoka.
Ashoka membungkuk menyentuh kaki ibunya, Dharma yang tidak tahan dengan kesedihan putranya, berpaling ke arah lain. Ashoka segera melangkah pergi, namun Witashoka menghentikan kakaknya dengan memegang tangan Ashoka. "Jangan tinggalkan aku, Bhaiya. Aku tidak bisa hidup tanpamu", kata Witashoka.
Ashoka menanggapi dengan memegang kepala adiknya dan menekuk kaki merendahkan badannya. "Kau harus merawat ibu di saat aku tidak ada. Apakah kau ingat apa yang sering aku katakan?", tanya Ashoka sambil memegang bahu Witashoka.