Sinopsis Ashoka Samrat Episode 346 by Kusuma
Rasmana. Di Rajagira, dalam sebuah rumah, Dharma dan ibu Bhupal sedang
membuat ladu. Dharma menceritakan kepada ibu Bhupal yang dipanggil Kaki (Bibi)
Shanti, tentang Devi, putri Seth Dhaniram, si pemilik rumah yang disewa Dharma
sekeluarga saat di Awantipuram, Ujjain sebelumnya yang pintar membuat
ladu.
"Devi itu memang sedikit bawel, dalam sehari dia seakan terus berbicara tanpa henti. Dan dia sangat akrab dengan Witashoka yang sangat menyukai ladunya", kata Dharma.
Bibi Shanti berkata, "Kau juga tampaknya sangat terikat padanya. Itulah mengapa kau teringat tentang dia"
Dharma hanya tersenyum dan berharap Devi dan ayahnya tetap selamat, dimana pun dia berada saat ini.
"Devi itu memang sedikit bawel, dalam sehari dia seakan terus berbicara tanpa henti. Dan dia sangat akrab dengan Witashoka yang sangat menyukai ladunya", kata Dharma.
Bibi Shanti berkata, "Kau juga tampaknya sangat terikat padanya. Itulah mengapa kau teringat tentang dia"
Dharma hanya tersenyum dan berharap Devi dan ayahnya tetap selamat, dimana pun dia berada saat ini.
Sementara itu di Awantipuram, Ujjaini, di sebuah jalan besar,
Nirankush memaksa Dhaniram ikut menarik gerobak bersama beberapa orang lainnya.
Gerobak itu merupakan kerangkeng besi dimana Devi dan beberapa perempuan
dikurung didalamnya.
Mungkin dianggap sangat malas dan lamban, Nirankush memukul Dhaniram dengan pukulan cambuk. Dhaniram hanya diam menahan sakit sambil terus menarik gerobak dengan nafas yang tersengal bersama para budak lainnya.
Devi berteriak, "Jangan sakiti ayahku!"
Nirankush menghentikan gerobaknya dan tertawa, "Benarkah? Lalu bagaimana jika aku menyentuhmu?", Devi kaget dengan niat Nirankush yang berhasrat kepada dirinya.
"Aku akan menyentuh putrimu!", kata Nirankush menoleh kepada Dhaniram. Dhaniram hanya diam dengan marah.
Mungkin dianggap sangat malas dan lamban, Nirankush memukul Dhaniram dengan pukulan cambuk. Dhaniram hanya diam menahan sakit sambil terus menarik gerobak dengan nafas yang tersengal bersama para budak lainnya.
Devi berteriak, "Jangan sakiti ayahku!"
Nirankush menghentikan gerobaknya dan tertawa, "Benarkah? Lalu bagaimana jika aku menyentuhmu?", Devi kaget dengan niat Nirankush yang berhasrat kepada dirinya.
"Aku akan menyentuh putrimu!", kata Nirankush menoleh kepada Dhaniram. Dhaniram hanya diam dengan marah.
Nirankush dengan tertawa-tawa memasukkan tangannya ke dalam kerangkeng, mencoba menyentuh Devi yang berusaha menghindar. Dhaniram berkata memelas dan memohon agar Nirankush tidak melakukan apapun kepada putrinya."Anda boleh melakukan apapun kepadaku namun lepaskan putriku. Kumohon, Tuan Nirankush!", kata Dhaniram. Nirankush tertawa penuh kemenangan.
Nirankush berbicara tentang seseorang yang akan memberinya pelajaran. "Kau telah membuat orang menjadi budakmu. Sekarang kau akan menjadi budakku! Seluruh Ujjain akan melihat apa yang akan terjadi dengan putrimu!", kata Nirankush memegang leher Dhaniram. Dhaniram hanya pasrah tanpa mampu melakukan apapun.
Dalam kerangkeng, Devi menjadi sangat takut. Nirankush tertawa dan berteriak, "Jalan!", rombongan yang terdiri dari Nirankus, para prajurit pengawa, para lpelayan, para budak dan kerangkeng yang mengangkut Devi dan wanita lainnya pun bergerak lagi.
Di Rajagira, masih ditempat yang sama, Bibi Shanti dan Dharma
masih melanjutkan pembuatan ladu yang dibuat banyak. Bibi Shanti berkata, "Aku
akan membagikan ladu ini di Rajagira saat Bhupal datang kembali dari Nalanda
sebagai pemenang dan membawa gelar Mahayudha dari Magadha". Dharma hanya
menanggapi dengan senyum. Witashoka datang dan mengambil beberapa ladu.
"Aku tidak bisa menunggu lagi", kata Witashoka. Dharma berusaha mencegah, namun Witashoka malah lari keluar. Dharma tersenyum, "Dia mulai menjadi mirip dengan kakaknya.. . eh", hampir saja Dharma menyebut nama Ashoka. Dharma pun akhirnya meralat ucapannya, "Chanda juga seperti itu ketika dia masih kecil. Dia juga tidak bisa tahan jika melihat ladu".
Bibi Shanti tersenyum, dia ingin tahu dimana Chanda. Senyum Dharma yang mengembang seketika berubah.
"Aku tidak bisa menunggu lagi", kata Witashoka. Dharma berusaha mencegah, namun Witashoka malah lari keluar. Dharma tersenyum, "Dia mulai menjadi mirip dengan kakaknya.. . eh", hampir saja Dharma menyebut nama Ashoka. Dharma pun akhirnya meralat ucapannya, "Chanda juga seperti itu ketika dia masih kecil. Dia juga tidak bisa tahan jika melihat ladu".
Bibi Shanti tersenyum, dia ingin tahu dimana Chanda. Senyum Dharma yang mengembang seketika berubah.
Sementara di halaman belakang rumahnya, Ashoka yang duduk
diatas batu-batu dan bersandar didinding belakang rumahnya sedang merasa kesal.
Tangannya memukul-mukulkan batu pada batu-batu yang ada didepannya, dia
memikirkan perkataan ibunya yang marah atas keinginannya untuk ikut dalam
kompetisi. Garuda yang tertambat tidak jauh darinya gelisah dan meringkik.
Ashoka dengan kesal minta Garuda agar diam, namun lagi-lagi Garuda
meringkik.
"Kau tidak bisa di...", kata-kata Ashoka terhenti karena kaget, perhatiannya tercuri karena jauh di jalan memanjang di depannya ia melihat beberapa orang sedang membawa usungan tandu. Rombongan itu akan melewati jalan di depannya, karena itu Ashoka berdiri untuk menunggu orang-orang itu. Semakin dekat Ashoka mengetahui orang-orang itu adalah warga setempat yang baru kembali dari Nalanda dengan wajah-wajah sedih. Dan orang dalam tandu yang dipikul beberapa orang itu adalah Bhupal yang ternyata sudah meninggal setelah Ashoka melihatnya dengan pasti saat usungan itu melintas di depannya. Ashoka lalu menghentikan salah seorang pria dalam rombongan itu dan bertanya apa yang terjadi dengan Bhupal.
Pria itu menjelaskan, "Bhupal tidak bisa menahan kemampuan Sushima. Namun Sushima terus menyerang Bhupal dengan kejam padahal Bhupal saat itu sudah tak berdaya. Dan cedera parah itu membuat Bhupal meninggal".
Pria itu lalu pergi menyusul rombongannya.
Ashoka merasa sedih dan tak berdaya mendengar nasib yang dialami Bhupal. "Seseorang kehilangan nyawa lagi karena iblis itu hari ini, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa!", guman Ashoka.
Jenazah Bhupal yang sudah kaku diletakkan di arena tarung,
beberapa orang melihatnya dengan sedih dan berduka. Bibi Shanti menangis melihat
anaknya tergeletak tak bernyawa di hadapannya. "Bhupal.. Bhupal..,Ayo buka
matamu Nak!", Bibi Shanti menangis tersedu-sedu. Semua warga yang ada disitu
menangis, Dharma juga ikut menangis.
Witashoka memeluk Ashoka karena merasa sedih dan takut, namun Ashoka berusaha menentramkannya. Mereka semua yang ada di tempat itu meratapi kematian Bhupal.
Witashoka memeluk Ashoka karena merasa sedih dan takut, namun Ashoka berusaha menentramkannya. Mereka semua yang ada di tempat itu meratapi kematian Bhupal.
Di istana Magadha, Pattaliputra, Bindushara menerima ritual
aarti yang dilakukan oleh Rani Shubhrasi. Dia juga menerima prasad (sisa
persembahan) dalam ritual itu.
Bindushara akan melakukan perjalanan ke Nalanda untuk ikut menyaksikan kejuaraan gulat di sana.
"Sushima telah melakukan sesuatu yang baik setelah bertahun-tahun. Ini semua membahagiakanku. Dia telah menyelenggarakan pertandingan gulat dan rakyat ikut berpartisipasi di dalamnya. Aku pikir aku harus pergi ke sana untuk mendukungnya", kata Bindushara.
Shubhrasi berkata, "Aku juga merasakan hal yang sama. Kehadiran Anda akan memberikan kekuatan bagi anak tercinta Anda di sana".
Bindusahara mengangguk. Suara gelang kaki perempuan terdengar mendekat ke ruangan itu. Subhrasi dan Bindushara melihat Charumitra yang datang dengan senyum mengembang.
Shubhrasi merasa kurang senang dengan kehadiran Charumitra, dia segera berpamitan meninggalkan ruangan itu.
Charumitra merasa gembira mengetahui niat Bindushara akan pergi ke Nalanda. "Sushima tentu akan sangat senang! Dia mungkin kasar tetapi hatinya penuh dengan kasih sayang dan hormat kepada Anda. Ia tidak bisa mengungkapkannya. Dia ingin menjadi seperti Anda untuk membantu rakyat dan keturunan Maurya mencapai kejayaan yang baru", kata Charumitra. Bindushara menyimak ucapannya namun dengan perasaan biasa saja.
Bindushara berkata, "Aku tahu anakku dengan baik. Kau tidak perlu memberitahuku tentang dia". Dia lalu pergi meninggalkan Charumitra di ruangan itu.
Charumitra merasa kesal terhadap Bindushara yang cenderung meremehkan dia dan menganggap ucapannya sebagai hal yang tidak penting. Charumitra menggerutu dengan marah dengan mata memerah seakan menangis.
"Orang-orang itu (Dharma, Ashoka, Witashoka) sudah meninggalkan Magadha tetapi Samrat masih memberikan tempat di hatinya kepada mereka. Aku sungguh tidak suka itu! Saatnya telah tiba, Ashoka akan menumpahkan lebih banyak darah daripada air mata yang sudah aku tumpahkan. Anakku telah menyusun jebakan tersebut kepada anak kesayanganmu saat ini. Dia pasti akan mati! Lalu Sushimaku akan duduk di singgasana Magadha. Permainan ini akan berakhir dengan kematian Ashoka", guman Charumitra.