Sinopsis Ashoka Samrat episode 342 by Kusuma
Rasmana. Di rumah Seth Dhaniram, Dharma merasa sedih setelah mengetahui
anaknya dibawa pergi. Dia duduk di tangga teras rumah sambil menangis, sementara
Devi dan Dhaniram mencoba dan menenangkannya. "Bibi, kumohon tenanglah, Chanda
telah pergi untuk mencarinya", kata Devi. Di sampingnya berdiri Dhaniram yang
diam membisu. Garuda, kuda milik Ashoka yang kembali sendirian malah berbalik
lagi. Dari halaman Dhaniram memandangi kuda yang beranjak pergi.
Namun sesaat kemudian terdengar suara khas Witashoka memanggil "Ibu!".
Dharma langsung gembira saat mendengar panggilan dari luar pekarangan itu dan ia bergegas keluar sambil berteriak, "Wit!!"
Dharma memeluk Witashoka yang datang menghambur memeluknya dengan erat. Dhaniram dan Devi gembira melihat kejadian itu. Dharma mencium kening putranya beberapa kali dan kaget menyadari beberapa luka di lengan dan tubuh Witashoka. Dharma menjadi sangat khawatir melihat luka-luka itu.
"Dimana kakakmu Chanda?", tanya Dharma menanyakan keberadaan Ashoka.
Witashoka menjawab, "Bhaiya sedang pergi ke benteng istana Nirankush untuk membunuhnya sebagai hukuman atas apa yang dia lakukan kepadaku". Dharma kaget mendengar ucapan Witashoka, demikian juga Dhaniram dan Devi.
Dharma bergegas pergi dari rumah itu sambil menyeret tangan putranya, Devi dan Dhaniram menjadi tegang, "Apa yang akan terjadi?", guman Dhaniram. "Bibi!", panggil Devi, namun Dharma tak peduli, dia terus bergegas bersama Witashoka.
Diatas benteng istananya, Nirankush sedang d kelilingi para
prajuritnya. Nirankush berkata, "Ini adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan
Ashoka dalam genggaman kita. Karena ia akan datang ke sini untuk membalas
luka-luka adiknya. Tangkap dia hidup-hidup! Jika kalian gagal, maka kalian juga
tidak akan tetap hidup!"
Pimpinan prajuritnya bertanya, "Bagaimana Anda begitu yakin bahwa dia akan datang?"
Pimpinan prajuritnya bertanya, "Bagaimana Anda begitu yakin bahwa dia akan datang?"
Nirankush tertawa terbahak-bahak, "Seseorang yang bisa datang dengan bekerja begitu keras dan menumpahkan darahnya untuk menyelamatkan adiknya. Bagaimana ia tetap tenang setelah melihat luka yang dialami adiknya? Dia pasti akan datang kembali dengan amarah sepenuh hati untuk membalas dendam!"
Dharma dan Witashoka setengah berlari di jalan besar yang agak
ramai itu. Sementara itu di arah lain Ashoka sedang melangkah bergegas dengan
tubuh penuh luka lebam dan lecet menuju benteng istana Nirankush. Dharma dan
Witashoka akhirnya berhasil menghadang Ashoka yang sedang berjalan buru-buru
dalam upaya untuk mencapai istana Nirankush lebih cepat.
Ashoka melihat Dharma dan adiknya berdiri menghadang langkahnya. Dia dengan marah melototi ibunya, "Aku mohon jangan hentikan aku hari ini, Bu!. Karena hari ini aku tidak akan mendengarkan ibu, tapi akan menghukum orang yang menyakiti Witashoka dengan luka-luka tersebut!"
Dharma bertanya marah, "Apakah kau tidak pernah memikirkan hal lain selain balas dendam? Tidakkah Kau bisa melihat aku juga merasa terluka. Meskipun salah satu anakku yang terluka, aku juga merasakan sakit. Tapi dari apa yang aku lihat hari ini, apakah kau melihat aku jadi frustasi dan gelisah? Aku tidak seperti dirimu yang kewalahan dengan emosi. Tidak, Chanda, tidak! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu hari ini! Aku tidak akan mengizinkanmu merusak perdamaian dunia demi kepuasan nafsu dan amarahmu!"
Dharma meraih tangannya dan mengajak Ashoka pulang. Sementara Ashoka hanya menurut walaupun tetap merasa tidak puas. Amarahnya masih menggelegak dan butuh penyaluran.
Diatas benteng istana Ujjaini, Nirankush dan para prajuritnya
masih menunggu kedatangan Ashoka, namun tidak ada tanda-tanda orang yang
dinantikan itu. Merasa tidak sabar lagi menanti, pemimpin prajurit berkata,
"Ashoka tidak akan datang. Sejauh yang aku ketahui, dia jauh lebih cerdik dan
tahu bahwa jika dia datang ke sini sendirian, maka dia akan kalah jumlah. Oleh
karena itu untuk menyelamatkan nyawanya, ia tidak akan datang kesini. Ia pasti
sudah melarikan diri sekarang".
Nirankush sangat marah mendengar dugaan yang diucapkan pimpinan prajurit itu. Dia berkata serak, "Aku akan menangkapnya hidup-hidup!"
Nirankush sangat marah mendengar dugaan yang diucapkan pimpinan prajurit itu. Dia berkata serak, "Aku akan menangkapnya hidup-hidup!"
Di rumah Seth Dhaniram malam hari, di ruangan dalam, Dharma
sedang sibuk mengemasi barang-barangnya. Dia meminta Witashoka untuk bergegas
juga sementara Ashoka hanya menggerutu tanpa ikut membantu. Dharma melihat kain
yang yang ada bekas kaki, dia bermaksud mencampakkan kain itu karena
mengingatkan dia akan kenangan buruknya. Namun Ashoka tidak mengizinkan ibunya
untuk membuang kain yang merupakan tanda membalas dendam itu. Dharma dengan
kesal terpaksa membiarkan Ashoka menyimpan kain itu.
Seth Dhaniram datang tiba-tiba datang ke kamar itu. Ia kaget dan susah melihat mereka mengepak barang dan tampaknya bersiap-siap akan pergi dari rumah itu.
"Kalian boleh tinggal di sini. Aku tahu, mungkin Aku telah marah dan menuntut setiap waktu. Namun sekarang semua itu tidak berarti. Dan sekarang bahkan uang sewa Kalian sudah dibayar".
Dharma meminta Dhaniram untuk tidak berpikir seperti itu. "Apa pun yang sudah Kau lakukan, Kami sangat bersyukur. Kalian harus menghadapi banyak masalah karena kami. Aku tidak ingin menempatkan kalian dan orang sekitarnya dalam kesulitan lagi hanya karena kami berada disini"
Devi yang juga datang berkata, "Ini bukan waktu yang tepat untuk pergi, setidaknya tunggulah besok pagi"
Dharma menjawab, "Ini adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri secara diam-diam"
Witashoka berkata, "Bu, Aku telah selesai berkemas". Ibunya mengangguk, sedangkan Ashoka hanya diam membisu.
Devi meminta Witashoka menunggu, lalu dia pergi mengambilkan ladu bagi Witashoka karena Devi tahu Witashoka begitu menyukai ladu. Witashoka tersenyum gembira melihat ladu itu, Devi pun menyuapinya sebuah ladu. Keduanya lalu makan ladu dan saling menyuapi. Dharma merasa bahagia melihat kebersamaan mereka, bahkan Witashoka memeluk Devi seakan mereka adalah kakak beradik. Ashoka yang membisu hanya menampilkan wajah datar.