Sinopsis Ashoka Samrat episode 387 by Kusuma
Rasmana. Episode diawali dengan adegan saat Ashoka melompat ke dalam
sumur. Dengan tubuh melayang memasuki sumur itu, Ashoka menggerak-gerakkan
tanganya menghalau kegelapan dan hawa yang tidak enak dalam sumur itu. Tubuh
Ashoka lalu mendarat telentang di atas jaring tali. Ashoka lalu menjatuhkan
dirinya dari jaring tali dan berusaha mengikuti 2 orang yang berpakaian hitam
yang sudah masuk ke dalam sumur duluan tadi. Dua orang berpakaian hitam tadi
menyusuri lorong berbatu dan setelah itu akan bertemu dengan lubang dalam yang
gelap yang harus dilewati dengan melompat ke pijakan batu-batu yang posisinya
tidak stabil.
Salah satu pria yang berpakaian hitam itu berkata memandu
kawannya, "Kau harus berhati-hati saat melangkah maju, pastikan kau menginjak
pijakan batu itu. Jangan injakkan kakimu di tempat lain", kata pria itu.
Kawannya hanya mengangguk dan mengikuti langkah pria tadi. Pria yang pertama
berhasil melompat dari pijakan ke pijakan lain tanpa kesulitan, walaupun pijakan
itu bergoyang. Namun pria kedua tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya saat
pijakannya bergerak-gerak. Pria itu pun jatuh ke dalam lubang yang dasarnya
entah dimana, teriakannya terdengar bergema menyayat hati.
Ashoka yang berhasil menyusul pria itu di belakangnya,
mengamati lubang lebar dan pijakan itu sambil berusaha memahaminya. Dengan
sangat hati-hati Ashoka melewati lubang besar dan dalam itu dengan melompat dan
berjinjit dari pijakan satu ke pijakan lain. Beberapa kali dia harus
menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh, hingga tiba di sisi lain lubang
itu.
Di koridor istana Pattaliputra, Siamak yang menenteng buntalan
berjalan cepat menyusuri koridor sambil matanya terus meoleh ke sana kemari,
untuk memastikan tidak ada orang yang mencurigainya. Langkahnya diikuti oleh
Bindushara yang bergegas dan Mahamatya juga bergegas berusaha menghentikan
langkah samrat.
Mahamatya berteriak memanggil Bindushara, "Kumohon berhenti Samrat! Bukan bermaksud membuat Anda marah. Tapi Aku sendiri yang akan berbicara dengan Pangeran Siamak". Namun Bindushara tak peduli dengan teriakan itu, dia terus melangkah.
Charumitra muncul dari arah depan, dia melangkah menghalangi Bindushara, "Samrat, Aku harus berbicara dengan Anda"
Melihat perhatian samrat teralihkan karena Charumitra, Mahamatya bergegas mengejar Pangeran Siamak melalui koridor lain.
Bindushara mencoba untuk mengabaikan Charumitra, "Aku tidak punya waktu saat ini", kata Samrat bermaksud pergi.
Charumitra mengeluh, "Untuk Dharma Anda selalu memiliki waktu, tetapi tidak untuk diriku".
Bindushara menggelengkan kepalanya, dia bertanya, "Mengapa kau selalu membicarakan hal yang sama?". Namun Charumitra hanya diam saja.
Sementara tidak jauh dari tempat itu Siamak segera memberikan buntalan itu kepada seorang prajurit. Namun Mahamatya datang memperingatkannya. "Samrat! Samrat sedang mengikutimu!", bisik Mahamatya sedikit panik. Siamak mengambil kembali buntalan yang berisi pakaian dan barang-barang untuk Helena dari tangan prajurit dan menyuruhnya pergi. Mahamatya lalu mendekati Siamak sambil matanya melihat ke sana-kemari seperti maling yang takut kepergok. Keduanya sepakat merencanakan sesuatu.
Di koridor, Bindushara berkata, "Baiklah, aku beri kau waktu,
Charumitra. Katakan apa keinginanmu".
Charumitra berkata, "Ini tentang Putri Chanda yang begitu baik. Aku menyukai dia untuk Sushima"
Bindushara berkata, "Ronde terakhir kompetisi masih belum berakhir. Aku akan mempertimbangkan keinginanmu dan yang disukai Sushima sebelum membuat keputusan. Aku akan memastikan keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan apa yang benar untuk semua orang dan Magadha". Bindushara lalu meneruskan langkahnya. Sementara Charumitra hanya tersenyum karena tindakannya mengalihkan perhatian Samrat berhasil baik.
Di sudut koridor lain, Mahamatya mengenakan kain panjang
menutupi tubuh dan atas kepalanya. Dia berpura-pura atau menyamar jadi orang tua
ringkih yang menerima pakaian milik mendiang Rajmata yang di sedekahkan oleh
Siamak dalam tindakan sandiwaranya juga.
"Aku akan menyumbangkan barang ini seperti yang Anda perintahkan. Ini akan membawa kedamaian bagi jiwa Rajmata", kata Mahamatya berpura-pura seperti orang tua dengan mengubah suaranya. "Pranam!(salam)", kata Mahamaya yang segera berpamitan. "Tuhan memberkatimu", kata Siamak pun mencakupkan tangannya saat Mahamatya berpamitan pergi.
Mahamatya yang menyamar segera bergegas pergi sambil membawa buntalan itu karena sadar Bindushara sedang mendekati Siamak dan dia bisa melihat wajahnya. Siamak pun segera melangkah mendekati Bindushara untuk memastikan Mahamatya aman.
Bindushara yang melangkah mendekat berkata, "Aku sudah bilang bahwa aku tidak akan melakukan shrada (ritual bagi arwah) bagi pengkhianat".
Siamak berkata, "Anda benar, Ayahanda raja, tetapi Anda tidak tahu bagaimana rasanya seorang putra kehilangan ayah. Aku melakukan ini demi ketenangan dalam rumah ini, agar tidak ada keresahan didalam keluarga kita. Aku berharap arwah dari Rajmata akan tenang setelah melakukan ini. Aku tidak bisa melihat Anda dalam kondisi seperti ini. Aku takut karena Aku tidak ingin kehilangan Anda. Aku sangat takut, tapi aku yakin Anda mungkin tidak seperti itu".
Bindushara berkata lagi, "Kau telah membuat Witthasoka jatuh dan kau malah membiarkannya". Siamak terhenyak karena dia diingatkan tentang Witthasoka yang ditabraknya hingga jatuh.
"Aku sungguh kecewa dengan kelakuanmu, kau seharusnya bersikap baik kepada adikmu", kata Bindushara.
"Maafkan aku atas apa yang terjadi dengan Wit, Ayahanda, aku berjanji akan ikut menjaganya", kata Siamak.
Bindushara segera pergi dari tempat itu, tinggal Siamak yang kesal dengan kemarahan Samrat.
Setelah berhasil melewati lubang lebar dengan pijakan batu yang
tidak stabil, Ashoka memasuki ruangan gua yang temaram oleh cahaya beberapa obor
di dinding gua. Dia melihat seorang pria yang berdiri di ketinggian sedang
memainkan Potli (kantung uang) dengan mengangsur-angsurkan ke atas. Ashoka
segera menyadari bahwa potli itu miliknya karena saat memegang kain pakaiannya,
potli dipinggangnya sudah tidak ada.
Pria yang memainkan potli itu adalah Wirata, dia membelakangi cahaya matahari yang jatuh di belakangnya sehingga Ashoka tidak melihat wajahnya. Tidak jauh dari Ashoka, beberapa orang anak buah Wirata memperhatikan Ashoka yang mendekat. Ashoka yang melangkah harus menutupi matanya karena cahaya silau dari depan, dari arah Wirata. Wirata berkata, "Ini adalah Kaliyuga (zaman kekacauan), Seseorang bekerja keras, sementara orang lain menikmati hasilnya!"
Wirata segera melangkah turun dari tempatnya melewati tangga dan mendekati Ashoka. Dia lalu membalik potli di tangannya dan mengeluarkan koin emas hingga jatuh berserakan di lantai. Kali ini Ashoka melihat wajahnya dengan jelas setelah koin di potli habis dan kantong kain itu dicampakkan begitu saja.
Wirata berkata, "Memang benar, kan? Kami ada begitu banyak namun kami mendapatkan koin emasmu hanya sedikit? Kau adalah Ashoka, putra Dharma, pangeran Magadha, seorang Rajawamshi (bangsawan) yang pastinya memiliki begitu banyak uang yang kau bawa! Kau adalah tamuku karena kau telah datang ke tempatku sekarang. Aku akan memberikanmu penghormatan sebagai tamu yang layak. Lain halnya denganmu, yang seorang Rajawamshi tidak pernah memberikan penghormatan kepada siapa pun".
Wirata menepukkan tangannya, prajurit anak buahnya melangkah ke depan memberikan Ashoka sesuatu, namun Ashoka membuka tangannya tanda menolak suguhan itu.
Wirata berkata, "Kau tidak perlu khawatir, Ashoka! Bukan kebiasaanku memberikan racun kepada tamu atau pun menusuk seseorang dari belakang. Ini adalah kebiasaan kalian, para Rajawamshi!"
Ashoka mengatakan, "Kau tahu banyak tentang keluargaku"
Wirata berkata, "Aku telah mendengar banyak tentangmu. Ternyata Kau lebih dari apa yang aku dengar. Kau bahkan tidak tahu hadiah dari kehidupan dari para prajurit yang melindungimu"
Ashoka menjawab, "Kau juga tidak lebih dari seorang pengecut yang hanya bisa bersembunyi di dalam sumur.
Wirata berkata sambil mondar-mandir, "Kami tidak bersembunyi, Ashoka! Kami hanya tidak menyukai jenis tempat di mana kalian para Rajawamshi tinggal. Tempat dimana para penghuninya saling menipu disana. Kami akan segera membebaskan masyarakat dari hal semacam itu".
Ashoka berbalik kepada Wirata dan berkata, "Dari ucapanmu,
niat kita sama, Wirata! Hanya pandangan kita yang berbeda".
Wirata mengatakan, "Niat kita berbeda, Ashoka, metode kita pun berbeda dan hasilnya pun pasti berbeda. Aku merasa waktumu telah tiba, Ashoka!".
Ucapan Wirata rupanya semacam isyarat bagi beberapa prajurit dengan pakaian hitamnya yang segera mengelilingi Ashoka dengan pedang telanjang. Ashoka melihat sekilas ke arah prajurit itu.
Wirata melangkah mendekati Ashoka, "Apakah kau tahu mengapa tidak ada prajuritmu yang bisa mencari tahu tempat rahasia ini? Tidak ada yang bisa kembali dari sini hidup-hidup. Waktumu telah tiba! Pikirkan orang yang kau cintai untuk terakhir kalinya"
Ashoka hanya diam menatap Wirata, namun benaknya mengingat tentang adiknya, Witthasoka, orang tuanya, Bindushara dan Dharma dan juga kekasihnya, Kaurwaki.