Sinopsis Ashoka Samrat episode 334 by Kusuma
Rasmana. Di ruang sidang istana Magadha, Pattaliputra. Samrat
Bindushara sedang berdiri dengan marah. Dia baru saja mendapat laporan dari
pejabat daerahnya tentang adanya pajak baru terhadap bahan pokok. Bindushara
bertanya dengan suara keras, "Siapa mengenakan pajak untuk bahan makanan? Siapa
yang telah membuat keputusan bodoh itu? Mengapa tidak bertanya padaku sebelum
melakukannya?". Suasana hening, Mahamatya merasa dia harus menjawab pertanyaan
Samrat. Mahamatya akhirnya menyebut nama Sushima yang melakukan itu.
Bindu sama sekali tidak terkejut, "Apa ini yang diharapkan darinya! Aku minta Sushima menghadap ke sidang ini sekarang juga!", kata Bindushara memberi perintah. Mahamatya pun pergi dari ruang sidang.
Bindu sama sekali tidak terkejut, "Apa ini yang diharapkan darinya! Aku minta Sushima menghadap ke sidang ini sekarang juga!", kata Bindushara memberi perintah. Mahamatya pun pergi dari ruang sidang.
Bindushara berguman, "Aku benar-benar lelah atas kelakuan Sushima".
Di ruangan Charumitra, disana ada Sushima, Charumitra dan
Mahamatya.
"Mengapa aku harus menanggung orang tua itu!", guman Sushima. Yang dimaksud orang tua adalah ayahnya sendiri, Bindushara.
Charumitra menanggapi, "Selama samrat masih hidup, hanya itu yang bisa Kau lakukan".
Sushima berkata, "Aku akan melakukannya nanti".
Mahamatya berkata, "Benar, Pangeran, saat ini samrat sedang marah atas adanya keputusan pangeran mengeluarkan pajak baru. Pangeran harus menuruti kemauan samrat".
Sushima marah mendengar ucapan Mahamatya. Dia maju dan mencengkeram leher Mahamatya.
"Kau ini dipihak siapa?", tanya Sushima marah.
Mahamatya megap-megap karena jalan nafasnya terasa sempit. "Maafkan aku, Pangeran", kata Mahamatya di sela-sela nafasnya yang sesak.
Charumitra berteriak, "Sushima!", dia membebaskan Mahamatya dari cengkeraman tangan putranya.
Mahamatya berkata, "Saat ini belum tepat, Pangeran".
Charumitra setuju dengan pendapat Mahamatya. "Kau harus menempatkan para prajurit dalam kendalimu dulu dan kemudian para warga kerajaan. Maka kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan!".
"Mengapa aku harus menanggung orang tua itu!", guman Sushima. Yang dimaksud orang tua adalah ayahnya sendiri, Bindushara.
Charumitra menanggapi, "Selama samrat masih hidup, hanya itu yang bisa Kau lakukan".
Sushima berkata, "Aku akan melakukannya nanti".
Mahamatya berkata, "Benar, Pangeran, saat ini samrat sedang marah atas adanya keputusan pangeran mengeluarkan pajak baru. Pangeran harus menuruti kemauan samrat".
Sushima marah mendengar ucapan Mahamatya. Dia maju dan mencengkeram leher Mahamatya.
"Kau ini dipihak siapa?", tanya Sushima marah.
Mahamatya megap-megap karena jalan nafasnya terasa sempit. "Maafkan aku, Pangeran", kata Mahamatya di sela-sela nafasnya yang sesak.
Charumitra berteriak, "Sushima!", dia membebaskan Mahamatya dari cengkeraman tangan putranya.
Mahamatya berkata, "Saat ini belum tepat, Pangeran".
Charumitra setuju dengan pendapat Mahamatya. "Kau harus menempatkan para prajurit dalam kendalimu dulu dan kemudian para warga kerajaan. Maka kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan!".
Di Awantipuram, Ujjaini, di halaman rumah besar milik Seth
Dhaniram, Ashoka tengah mencuci tangannya setelah menikmati makanan dari Devi.
Devi hanya berdiri bengong melihatnya.
"Akan sangat menyenangkan bisa tidur setelah makan!", kata Ashoka lalu berbaring untuk tidur di atas bangku atau meja di halaman itu. Padahal meja itu penuh dengan papad (semacam penganan uli yang diiris tipis seperti keripik) yang dijemur di bawah sinar matahari siang itu. Seth Dhaniram yang sedang menuruni tangga marah melihat kelakuan Ashoka. "Dia selalu membuat semuanya kacau! Papad-ku jadi rusak semua sekarang", kata Dhaniram mengeluh, sementara Ashoka tak peduli karena mulai tertidur.
"Akan sangat menyenangkan bisa tidur setelah makan!", kata Ashoka lalu berbaring untuk tidur di atas bangku atau meja di halaman itu. Padahal meja itu penuh dengan papad (semacam penganan uli yang diiris tipis seperti keripik) yang dijemur di bawah sinar matahari siang itu. Seth Dhaniram yang sedang menuruni tangga marah melihat kelakuan Ashoka. "Dia selalu membuat semuanya kacau! Papad-ku jadi rusak semua sekarang", kata Dhaniram mengeluh, sementara Ashoka tak peduli karena mulai tertidur.
Di ruang sidang Magadha, Bindushara bertanya pada Sushima
tentang keputusan yang dianggap berani.
"Atas ijin siapa kau berani mengambil keputusan seperti itu? Bagaimana kau bisa menempatkan beban serupa pada rakyat biasa? Kau bahkan tidak berpikir untuk berbicara dulu denganku sebelum mengambil keputusan seperti itu. Siapa kau yang berani mengambil keputusan atas nama kerajaan?", kata Bindushara marah menuding putranya.
"Atas ijin siapa kau berani mengambil keputusan seperti itu? Bagaimana kau bisa menempatkan beban serupa pada rakyat biasa? Kau bahkan tidak berpikir untuk berbicara dulu denganku sebelum mengambil keputusan seperti itu. Siapa kau yang berani mengambil keputusan atas nama kerajaan?", kata Bindushara marah menuding putranya.
Sushima mengepalkan tinjunya, dia hendak melangkah maju, tapi Charumitra menggamit tangannya. Dia lalu berusaha membuka tangan putranya yang mengepal.
"Jangan diam saja, ayo bicara!", kata Bindushara.
Sushima menjawab, "Maafkan saya, Ayahanda. Saya membuat kesalahan, saya hanya berusaha untuk membantu ayah. Saya tidak bisa melihat ayah khawatir karena kas kerajaan semakin menipis. Mahamatya menyarankanku untuk membuat keputusan itu".
Mahamatya kaget karena namanya disebut, dia pun mulai gelisah.
"Ayahanda benar. Saya memang bodoh tapi saya tidak bisa melihat Anda khawatir. Cintamu telah membutakan saya. Saya siap dihukum, Ayah. Hukumlah Saya sekarang", kata Sushima lagi.
Bindushara berkata, "Orang yang memberikan saran seperti itulah yang layak dihukum! Benar demikian, Mahamatya?", dia menoleh kepada Mahamatya.
Mahamatya meminta belas kasihan dan memohon ampunan samrat.
Bindushara berkata lagi, "Tampaknya usiamu yang tua membuat Kau telah kehilangan rasa dalam membuat keputusan yang tepat! Batalkan kembali pajak ini. Buat pengumuman resmi tentang pembatalan itu!".
Mahamatya menyanggupi perintah itu, Bindushara lalu meninggalkan ruang sidang, diikuti oleh Rani Charumitra. Ditempatnya Sushima masih berdiri. Dia memandang singgasana di ruangan itu dengan bertolak pinggang. "Hanya ada Ashoka di antara aku dan tahta ini! Sekarang dimana adikku tercinta selama ini?", guman Sushima.
Di halaman rumah bertingkat di Awantipuram, Ujjaini, Ashoka
yang sedang tidur telungkup diatas bangku, mengigau menyebut nama Kaurwaki
beberapa kali. Ashoka lalu membalik badannya menjadi telentang, namun masih
tertidur.
Devi yang berdiri di dekatnya heran mendengarnya. "Kaurwaki? Siapa Kaurwaki?", guman Devi, "Pertama Ashoka, lalu Pattaliputra dan sekarang Kaurwaki. Apa arti dari kata-kata ini? Siapa yang tahu arti dari semua ini? Aku akan mencari tahu semuanya itu!"
Devi yang berdiri di dekatnya heran mendengarnya. "Kaurwaki? Siapa Kaurwaki?", guman Devi, "Pertama Ashoka, lalu Pattaliputra dan sekarang Kaurwaki. Apa arti dari kata-kata ini? Siapa yang tahu arti dari semua ini? Aku akan mencari tahu semuanya itu!"
Devi bertanya tentang Kaurwaki kepada Dharma yang muncul di halaman. "Dia tadi mengatakan itu", kata Devi.
Dharma menjawab, "Dia tidur karena masih dalam pengaruh minuman keras, kau percaya kata-kata orang mabuk?"
Kembali Ashoka yang masih tidur menyebut nama Kaurwaki. Dharma dan Kaurwaki serentak menoleh Ashoka yang masih tidur telentang.
Sebelum Devi bertanya lagi, Dharma buru-buru pergi dengan alasan mencari Witashoka. Sambil melangkah, Dharma berpikir, "Mungkin lebih baik kalau Kaurwaki ada di sini sekarang".
Di wilayah Kalingga, Kaurwaki bersama Bela sedang berada di
luar sebuah kuil, dibawah pohon suci dimana dulu dia pernah mengelilingi pohon
suci itu bersama Ashoka. Dia membelai pohon dengan penuh emosi dan
terharu.
"Dewi Ibu, aku hanya meminta sesuatu sekali di dalam hidupku, Ashoka". Kaurwaki mencakupkan tangannya ke arah pohon, "Apakah Anda tidak akan memenuhi keinginanku? Anda telah memenuhi keinginan semua orang. Mengapa Anda berbeda terhadap diriku? Apa yang harus aku lakukan? Mengapa Anda memberi aku harapan yang membawaku tersesat?". Kaurwaki berdoa sambil menangis.
Seorang pendeta datang dibelakangnya. Pendeta itu berkata,
"Keinginannya Anda akan terpenuhi, Putri. Ini adalah hari yang sangat baik untuk
melakukan doa. Jika memungkinkan, maka berdoalah di sebuah kuil Shiwa yang ada
di Awantipuram setelah 4 hari. Dewi Ibu pasti akan mengabulkan doa-doa
Anda".
Bela berterima kasih atas saran pendeta itu. "Anda harus berdoa kepada Dewa Siwa, Putri", kata Bela menirukan saran pendeta. Kaurwaki berterima kasih kepada Dewi Ibu dengan mencakupkan tangan ke arah pohon suci sambil tersenyum.
Di bukit tandus yang penuh tebing cadas, beberapa pekerja
sedang memecahkan dinding tebing dengan peralatannya seperti palu, linggis,
kapak. Sedangkan beberapa pekerja lainnya memecahkan pecahan tebing menjadi
bongkahan kecil-kecil dengan alatnya masing-masing. Salah seorang pekerja yang
yang memecahkan dinding tebing, kaget karena bekas pecahan dinding itu membentuk
relief seperti sesuatu. Ya, sosok Dewa Ganesha yang duduk bersila, berbentuk
kepala gajah, telinga melebar kesamping dengan belalai menjuntai bengkok ke
kanan. Pekerja itu memastikan dengan memanggil kawan-kawannya. Semua yang
melihatnya meyakini itu relief di tebing menggambarkan Ganapati atau Ganesha,
putra Shiwa Mahadewa dalam mitologi. Para pekerja yang berkerumun semua berdoa
dengan bergembira dan berseru, "Sri Wighna hasta Ganesh Ki!" (Hidup Sri Ganesha,
penghancur segala halangan!) berkali-kali.
Seorang mandor pengawas pekerja datang ke tempat itu, dia meminta pekerja untuk menyingkirkan relief arca itu ke samping atau dipecahkan saja. Namun semua pekerja yang percaya bahwa Dewa Ganesha telah datang ke tempat itu,menolak untuk menyentuhnya apalagi memindahkannya. "Lupakan tentang memecahkannya!", kata pekerja itu. Mereka semua melepaskan peralatan bekerja seperti palu dan kapak mereka.
Mandor itu mengancam akan melaporkan tindakan mereka kepada pemilik lahan penggalian batu itu, "Apakah kalian tidak takut kepadanya?". Para pekerja tidak keberatan dan siap menanggung resiko. Kembali para pekerja berseru mengagungkan Sri Ganesha.
Nanda, mandor Ashoka yang tangan kanannya dibalut perban, mengejek mandor pengawas pekerja itu. "Ada apa? Apakah kau kehilangan keyakinan mereka? Hanya ada satu orang di tempat ini yang bisa memecahkannya demi uang. Tidak ada yang lebih besar dari uang baginya!"
Mandor itu lalu minta Nanda untuk memanggil orang yang dimaksud datang ke tempat itu. Nanda lalu pergi dengan ragu-ragu.